Back

Kurs Rupiah Indonesia Terkapar, RI Lakukan Negosiasi Tarif dengan AS di Tengah Ancaman Resesi Global

  • Rupiah melemah ke kisaran di 16.943-16.973/USD, terdampak penerapan tarif tinggi AS kepada RI dan neraga mitra dagang lainnya.
  • Pemerintah Indonesia intensifkan diplomasi dagang dengan AS, Menko Perekonomian dijadwalkan ke Washington pekan depan untuk memimpin negosiasi tarif.
  • Ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed meningkat, di tengah kekhawatiran akan resesi akibat perang dagang, menekan Dolar AS.

Nilai tukar Rupiah Indonesia melemah tajam hingga melampaui rekor terendah sepanjang masa, yang saat ini tengah bergerak di kisaran 16.943-16.973 per Dolar AS (USD) menjelang penutupan pasar keuangan domestik di sesi Asia, saat memanasnya tensi perdagangan global. Pasangan mata uang USD/IDR telah mencatatkan penguatan 5,99% dalam setahun. Pelemahan Rupiah ini dipicu oleh rencana Amerika Serikat memberlakukan tarif hingga 104% terhadap barang-barang asal Tiongkok dan 32% untuk Indonesia.

RI Intensifkan Negosiasi Tarif dengan AS, Menko Perekonomian Dijadwalkan Bertandang Pekan Depan

Merespons penerapan tarif tersebut, Presiden Republin Indonesia (RI), Prabowo Subianto menginstruksikan jajaran kabinet untuk menyederhanakan regulasi perdagangan dan mengurangi hambatan non-tarif, sembari mengevaluasi dampak kebijakan AS terhadap ekspor unggulan seperti tekstil, elektronik, alas kaki, dan minyak sawit.

Pemerintah Indonesia tengah mengintensifkan negosiasi dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Upaya ini telah dimulai sejak pekan lalu melalui perwakilan RI di Washington DC, yang kembali menggelar pertemuan lanjutan dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada Senin (7/4) waktu setempat.

Sebagai tindak lanjut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dijadwalkan bertolak ke AS pekan depan guna memimpin negosiasi langsung. Pemerintah akan membawa sejumlah poin penting hasil diskusi dengan para pelaku usaha yang dilakukan sebelumnya, sebagai bagian dari strategi diplomatik menurunkan tarif impor.

Meski begitu, pemerintah tidak akan menyiapkan instrumen kebijakan baru. Perlindungan terhadap industri dalam negeri tetap akan menggunakan mekanisme yang ada, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD), dengan proses yang dipercepat.

Perang Dagang Memanas, Tarif Baru Picu Kekhawatiran akan Resesi Global

Presiden AS Donald Trump kembali memicu ketegangan perdagangan global dengan menerapkan tarif timbal balik minimum 10% terhadap seluruh barang impor. Tiongkok menjadi sasaran utama, dengan tarif mencapai 54% dalam rezim baru ini. Trump juga mengancam akan menaikkan tarif tambahan hingga 50% jika Beijing tidak mencabut bea balasan sebesar 34% terhadap produk-produk asal AS yang diumumkan pekan lalu.

Kebijakan ini sontak menimbulkan kekhawatiran di pasar global. Para analis memperingatkan bahwa lonjakan hambatan perdagangan dapat menekan arus barang internasional dan mendorong ekonomi global menuju resesi, khususnya karena pasar konsumen terbesar dunia ikut terdampak.

Gedung Putih melalui juru bicara Karoline Leavitt memastikan tarif baru sebesar 104% terhadap impor asal Tiongkok akan mulai berlaku Rabu ini. Pernyataan ini mempertegas kekhawatiran akan terjadinya eskalasi lebih lanjut menuju perang dagang total, yang berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi global.

Menurut Reuters, para pejabat senior Tiongkok di Dewan Negara, sejumlah badan pemerintah, dan regulator tengah bersiap menggelar pertemuan darurat pada hari Rabu ini. Langkah tersebut merupakan respons terhadap tarif 104% yang diumumkan Presiden AS Donald Trump terhadap barang-barang asal Tiongkok. Pemerintah Tiongkok akan membahas serangkaian langkah untuk memperkuat konsumsi domestik dan mendukung stabilitas pasar modal dalam negeri.

Ekspektasi Penurunan Suku Bunga Membayangi, Dolar AS Tertekan

Analis valuta asing Commerzbank, Antje Praefcke, menyatakan bahwa pasar kini memprakirakan penurunan suku bunga The Fed sebesar 100 basis poin hingga akhir tahun. Menurutnya, para pelaku pasar saat ini lebih mengkhawatirkan risiko resesi akibat dampak tarif baru dibandingkan potensi kenaikan inflasi dari bea impor tinggi. “Inilah sebabnya Dolar AS mengalami tekanan turun signifikan sejak Hari Pembebasan,” ujar Praefcke.

Seiring kekhawatiran akan perlambatan ekonomi yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Trump, ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve terus menguat. Berdasarkan alat FedWatch dari CME Group, pasar menilai kemungkinan penurunan suku bunga pada pertemuan kebijakan Mei mendatang telah mencapai lebih dari 60%.

Secara keseluruhan, The Fed diprakirakan akan memangkas suku bunga hingga lima kali tahun ini. Meskipun tarif tinggi diprediksi mendorong inflasi, pasar tetap fokus pada ancaman pelemahan ekonomi. Ekspektasi pelonggaran moneter inilah yang menekan Dolar AS selama dua hari terakhir, di tengah meningkatnya ketidakpastian arah kebijakan ekonomi AS.

Pasar Tunggu Risalah FOMC dan Data Inflasi AS, Penentu Arah Dolar Selanjutnya

Para pelaku pasar kini menantikan rilis risalah rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang dijadwalkan Rabu malam waktu AS. Risalah ini diharapkan memberi sinyal lebih jelas mengenai arah kebijakan suku bunga The Fed di tengah meningkatnya tekanan ekonomi akibat perang dagang.

Selain itu, dua data inflasi utama, yakni Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Kamis dan Indeks Harga Produsen (IHP) pada Jumat, akan menjadi sorotan utama pasar. Keduanya diprakirakan memberikan petunjuk tambahan terkait prospek pelonggaran kebijakan moneter bank sentral.

Pertanyaan Umum Seputar Tarif

Meskipun tarif dan pajak keduanya menghasilkan pendapatan pemerintah untuk mendanai barang dan jasa publik, keduanya memiliki beberapa perbedaan. Tarif dibayar di muka di pelabuhan masuk, sementara pajak dibayar pada saat pembelian. Pajak dikenakan pada wajib pajak individu dan perusahaan, sementara tarif dibayar oleh importir.

Ada dua pandangan di kalangan ekonom mengenai penggunaan tarif. Sementara beberapa berpendapat bahwa tarif diperlukan untuk melindungi industri domestik dan mengatasi ketidakseimbangan perdagangan, yang lain melihatnya sebagai alat yang merugikan yang dapat berpotensi mendorong harga lebih tinggi dalam jangka panjang dan menyebabkan perang dagang yang merusak dengan mendorong tarif balas-membalas.

Selama menjelang pemilihan presiden pada November 2024, Donald Trump menegaskan bahwa ia berniat menggunakan tarif untuk mendukung perekonomian AS dan produsen Amerika. Pada tahun 2024, Meksiko, Tiongkok, dan Kanada menyumbang 42% dari total impor AS. Dalam periode ini, Meksiko menonjol sebagai eksportir teratas dengan $466,6 miliar, menurut Biro Sensus AS. Oleh karena itu, Trump ingin fokus pada ketiga negara ini saat memberlakukan tarif. Ia juga berencana menggunakan pendapatan yang dihasilkan melalui tarif untuk menurunkan pajak penghasilan pribadi.


 

USD/CHF Terjun di Bawah 0,8450 di Tengah Sentimen Risk-Off, Menantikan Risalah Rapat FOMC

Pasangan mata uang USD/CHF melanjutkan penurunannya ke dekat 0,8435 selama awal sesi Eropa. Franc Swiss (CHF) menguat terhadap Dolar AS (USD) saat para trader mencari perlindungan dari gejolak pasar yang semakin intens akibat tarif besar-besaran Presiden AS Donald Trump dan kekhawatiran akan resesi global
Baca selengkapnya Previous

Kertas Putih Tiongkok: Bersedia Berkomunikasi dengan AS tentang Isu Penting dalam Ekonomi dan Perdagangan

Tiongkok merilis sebuah makalah putih tentang perdagangan dan hubungan ekonomi dengan AS pada hari Rabu.
Baca selengkapnya Next